Sabtu, 16 Februari 2013

MEMBANGUN REKAYASA SOSIAL PERLUKAH???

Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pembangunan yang diinisiasi oleh masyarakat untuk merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking, hingga mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial (Subejo dan Supriyanto, 2004). Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi bila terjadi interaksi dan partisipasi aktif dari tiap invidu; dan dapat dikatakan berhasil jika masyarakat menjadi subyek, bukan sebaliknya.
Contoh nyata adalah kemiskinan dan upaya pengentasannya. Pihak-pihak terkait telah berupaya mengatasi tersebut melalui kegiatan yang melibatkan masyarakat, sering dinamakan Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment). Kegiatan tersebut lebih banyak bermuara pada bantuan langsung pada masyarakat, baik yang bersifat materi maupun bantuan stimulan sarana prasarana usaha.
Namun yang acapkali terjadi adalah pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh pihak-pihak terkait cenderung belum terlaksana secara optimal. Terkadang yang terjadi, bukannya melakukan “Pemberdayaan Masyarakat”, namun “Pelumpuhan Masyarakat”. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin tergantung dan hanya berharap bantuan pemerintah, seperti yang pernah disinyalir oleh Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa – Depdagri.
Mencermati realitas di atas, maka terpikir bahwa permasalahan pada pelaksanaan pemberdayaan masyarakat antara lain: (1) implementasi program belum distruktur secara baik; lebih cenderung terpusat pada kegiatan yang instan, seperti penyaluran bantuan, yang dikhawatirkan justru dapat “mengkerdilkan” moral dan perilaku masyarakat miskin; (2) tujuan program yang ditawarkan belum dapat dipahami secara baik oleh masyarakat sasaran; akibat kondisi sosial-ekonomi, budaya dan latar belakang SDM yang beragam; (3) kegiatan yang dilakukan belum didasarkan pada isu-isu penyebab kemiskinan; sehingga program yang dilakukan kurang menyentuh substansi masalah. 
Beberapa referensi menyatakan, penurunan angka kemiskinan dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan filosofi: (1) mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin; dan (2) meningkatkan produktifitas dan pendapatannya. Pengurangan beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin sangat terkait dengan laju inflasi, serta kondisi fiskal dan moneter, sedangkan peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan usaha masyarakat, berbasis UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) meliputi diversifikasi mutu produk, penguatan permodalan, peningkatan SDM; serta pendampingan usaha. Keduanya, merupakan tanggungjawab pemerintah, sesuai dengan tujuan nasional untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait hal di atas, akar masalah kemiskinan umumnya adalah pada minimnya kompetensi SDM. Namun jika ditarik benang merahnya, kesadaran untuk meningkatkan SDM sangat tergantung dari mindset individu dalam masyarakat. Sering kita mendengar cerita sukses (success story), mengenai anak orang miskin, tetapi pada akhirnya mampu menyelesaikan pendidikan doktoral, malah mampu membuka lapangan kerja yang lebih luas. Singkatnya, mindset yang kuat dan terbuka, cenderung akan menimbulkan karakter yang kuat, termasuk motivasi dan semangat juang (fighting spirit) yang tinggi untuk lepas dari keterpurukan. Namun pertanyaan besarnya, bagaimana agar masyarakat miskin dapat dikondisikan agar mempunyai visi ke depan yang sama. Pada kondisi inilah, sebuah rekayasa sosial yang didisain secara terstruktur mutlak dibutuhkan.
Rekayasa Sosial (Social Enginering) pada dasarnya merupakan implemetasi dari sebuah disain ilmiah sebagai upaya untuk melakukan perubahan sosial, terutama mindset dan perilaku sebuah obyek sosial. Disain tersebut sangat dibutuhkan pada saat: (1) timbulnya sebuah masalah sosial, akibat perbedaan yang mencolok antara nilai ideal dalam masyarakat dengan realita yang ada; (2) adanya visi yang menuntut partisipasi individu dalam masyarakat; serta (3) adanya potensi timbulnya masalah sosial pada sebuah komunitas. Menilik dari hal tersebut, perlu disusun sebuah disain terintegrasi, yang mengkaitkan antara tujuan pemberdayaan dengan upaya mengorganisasi masyarakat. Pada penyusunan disain tersebut, selain tenaga teknis terkait, para ekononom, sosiolog, antropolog dan budayawan yang paham akan kondisi lokalitas perlu dilibatkan. 
Strategi operasional yang dapat dilakukan untuk menyusun disain tersebut antara lain: 

  1. Pengenalan terhadap kelompok sasaran (target groups); pendekatannya melalui kultur sosio-economy, budaya dan politik untuk mengetahui akar permasalahan sosial pada daerah tersebut. Boleh jadi, permasalahan sosial antar kelurahan/desa, walaupun dalam satu kecamatan, tidaklah sama;
  2. Menyusun rencana aksi terpadu untuk langkah perubahan berdasarkan berbasis lokalitas dan kebutuhan mendasarnya; termasuk menentukan fokus materi pemberdayaan masyarakat, lokus kegiatan, pihak-pihak yang terlibat, serta tata kelola kegiatan antar pihak terkait (bussiness process);
  3. Pelaksanaan dan pendampingan aksi. Esensi dari program pemberdayaan adalah mengorganisir, agar masyarakat mampu mengubah perilaku dan mengembangkan kemampuannya. Hal yang perlu diingat, pemberdayaan masyarakat berorientasi pada proses; sehingga perlu dipertimbangkan materi edukasi sampai kepada upaya menghantar dan mendampingi, untuk memastikan bahwa tujuan program dapat dipahami oleh masyarakat sasaran. Dalam hal ini, fasilitator yang berkompeten dan mempunyai mentalitas tinggi mutlak diperlukan;
  4. Evaluasi, dilakukan pada awal, pertengahan dan akhir program, sebagai referensi bagi perencanaan program-program berikutnya; menjadi sebuah perencanaan yang terarah, By Design dan bukan sebaliknya, By Accident.

Program pemberdayaan masyarakat, pada prinsipnya hanyalah sebuah pemicu untuk peningkatan produktifitas dan pendapatan masyarakat. Ini dapat terjadi jika setiap individu dalam masyarakat mempunyai mindset yang baik. Mindset yang terbuka (open minded) akan mendorong setiap individu untuk mengembangkan kemampuan diri, mengasah pengetahuan dan ketrampilan berusaha, termasuk meningkatkan jiwa enterpreneur. Untuk mendapatkan kondisi tersebut, perlu diawali dengan rekayasa sosial pada kelompok sasaran sebelum program pemberdayaan diluncurkan.
Sebuah program yang baik, disain rekayasa sosial yang fokus pada perubahan mindset; dan disusul dengan sinergi pelaksanaan terpadu diyakini akan mampu memberikan perubahan yang berarti pada masyarakat. Walaupun berimplikasi pada penganggaran untuk penyusunan sebuah disain, namun seperti kata orang bijak,: “Sebuah disain memang mahal, namun akan jauh lebih mahal jika melangkah tanpa disain”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar